INDRA ROSEPTIAWAN

DO THE BEST YOU CAN, WHERE YOU ARE, WITH WHAT YOU HAVE

BUDAYA POSITIF

 

Dalam budaya kita, makna kata ‘disiplin’ dimaknai menjadi sesuatu yang dilakukan seseorang pada orang lain untuk mendapatkan kepatuhan. Kita cenderung menghubungkan kata ‘disiplin’ dengan ketidaknyamanan.

Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa 

“dimana ada kemerdekaan, disitulah harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat ”self discipline” yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan peraturan demikian itulah harus ada di dalam suasana yang merdeka”

(Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka,  Cetakan Kelima, 2013, Halaman 470)

Disitu Ki Hajar menyatakan bahwa untuk mencapai kemerdekaan atau dalam konteks pendidikan kita saat ini, untuk menciptakan murid yang merdeka, syarat utamanya adalah harus ada disiplin yang kuat. Disiplin yang dimaksud adalah disiplin diri, yang memiliki motivasi internal. Jika kita tidak memiliki motivasi internal, maka kita memerlukan pihak lain untuk mendisiplinkan kita atau motivasi eksternal, karena berasal dari luar, bukan dari dalam diri kita sendiri.

Pemikiran Ki Hajar ini sejalan dengan pandangan Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, 2001. Diane menyatakan bahwa arti dari kata disiplin berasal dari bahasa Latin, ‘disciplina’, yang artinya ‘belajar’. Kata ‘discipline’ juga berasal dari akar kata yang sama dengan ‘disciple’ atau murid/pengikut. Untuk menjadi seorang murid, atau pengikut, seseorang harus paham betul alasan mengapa mereka mengikuti suatu aliran atau ajaran tertentu, sehingga motivasi yang terbangun adalah motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik. 

Diane juga menyatakan bahwa arti asli dari kata disiplin ini juga berkonotasi dengan disiplin diri dari murid-murid Socrates dan Plato. Disiplin diri dapat membuat seseorang menggali potensinya menuju kepada sebuah tujuan, sesuatu yang dihargai dan bermakna.  Dengan kata lain, disiplin diri juga mempelajari bagaimana cara kita mengontrol diri, dan bagaimana menguasai diri untuk memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang kita hargai.  

Dengan kata lain, seseorang yang memiliki disiplin diri berarti mereka bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya karena mereka mendasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai kebajikan universal. Dalam hal ini Ki Hajar menyatakan. Sebagai pendidik, tujuan kita adalah menciptakan anak-anak yang memiliki disiplin diri sehingga mereka bisa berperilaku dengan mengacu pada nilai-nilai kebajikan universal dan memiliki motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik. 
 

3 Motivasi Perilaku Manusia

Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, menyatakan ada 3 alasan motivasi perilaku manusia:

1. Untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman

Ini adalah tingkat terendah dari motivasi perilaku manusia. Biasanya orang yang motivasi perilakunya untuk menghindari hukuman atau ketidaknyamanan, akan bertanya, apa yang akan terjadi apabila saya tidak melakukannya? Sebenarnya mereka sedang menghindari permasalahan yang mungkin muncul dan berpengaruh pada mereka secara fisik, psikologis, maupun tidak terpenuhinya kebutuhan mereka, bila mereka tidak melakukan tindakan tersebut. 

2. Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. 

Satu tingkat di atas motivasi yang pertama, disini orang berperilaku untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. Orang dengan motivasi ini akan bertanya, apa yang akan saya dapatkan apabila saya melakukannya? Mereka melakukan sebuah tindakan untuk mendapatkan pujian dari orang lain yang menurut mereka penting dan mereka letakkan dalam dunia berkualitas mereka. Mereka juga melakukan sesuatu untuk mendapatkan hadiah, pengakuan, atau imbalan. 

3. Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya

Orang dengan motivasi ini akan bertanya, akan menjadi orang yang seperti apa bila saya melakukannya?. Mereka melakukan sesuatu karena nilai-nilai yang mereka yakini dan hargai, dan mereka melakukannya karena mereka ingin menjadi orang yang melakukan nilai-nilai yang mereka yakini tersebut. Ini adalah motivasi yang akan membuat seseorang memiliki disiplin positif karena motivasi berperilakunya bersifat internal, bukan eksternal. 

Keyakinan Kelas

Pertanyaan berikut adalah, “Mengapa kita memiliki peraturan tentang penggunaan helm pada saat mengendarai kendaraan roda dua/motor?” Kemungkinan jawaban Anda adalah untuk ‘keselamatan’. Pertanyaan berikut adalah, “Mengapa kita memiliki peraturan tentang penggunaan masker dan mencuci tangan setiap saat?” Mungkin jawaban Anda adalah “untuk kesehatan dan/atau keselamatan”.  

Nilai-nilai keselamatan atau kesehatan inilah yang kita sebut sebagai suatu ‘keyakinan’, yaitu nilai-nilai kebajikan atau prinsip-prinsip universal yang disepakati bersama secara universal, lepas dari latar belakang suku, negara, bahasa maupun agama. Menurut Gossen (1998), suatu keyakinan akan lebih memotivasi seseorang dari dalam, atau memotivasi secara intrinsik. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan. Murid-murid pun demikian, mereka perlu mendengarkan dan mendalami tentang suatu keyakinan, daripada hanya mendengarkan peraturan-peraturan yang mengatur mereka harus berlaku begini atau begitu.

Pembentukan Keyakinan Kelas:

·         Keyakinan kelas bersifat lebih ‘abstrak’ daripada peraturan, yang lebih rinci dan konkrit.

·         Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal.

·         Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk positif.

·         Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat dan dipahami oleh semua warga kelas.

·         Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan tersebut. 

·         Semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam pembuatan keyakinan kelas lewat kegiatan curah pendapat.

·         Bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke waktu.

5 Kebutuhan Dasar Manusia


        Seluruh tindakan manusia memiliki tujuan tertentu. Semua yang kita lakukan adalah usaha terbaik kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, sebetulnya saat itu kita sedang memenuhi satu atau lebih dari satu kebutuhan dasar kita, yaitu kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), cinta dan kasih sayang (love and belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan kekuasaan (power). Ketika seorang murid melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat satu persatu kelima kebutuhan dasar ini.  

     Diane Gossen dalam bukunya Restitution-Restructuring School Discipline (1998) mengemukakan bahwa guru perlu meninjau kembali penerapan disiplin di dalam ruang-ruang kelas kita selama ini. Apakah telah efektif, apakah berpusat memerdekakan dan memandirikan murid, bagaimana dan mengapa? Melalui serangkaian riset dan bersandar pada teori Kontrol Dr. William Glasser, Gossen berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang diterapkan seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol. Kelima posisi kontrol tersebut adalah Penghukum, Pembuat Orang Merasa Bersalah, Teman, Monitor (Pemantau) dan Manajer. Mari kita tinjau lebih dalam kelima posisi kontrol ini:

Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004)  Restitusi juga adalah proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996). 

Restitusi membantu murid menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif, dan memulihkan dirinya setelah berbuat salah. Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain atau menghindari ketidaknyamanan, namun tujuannya adalah menjadi orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai.  Sebelumnya kita telah belajar tentang teori kontrol bahwa pada dasarnya, kita memiliki motivasi intrinsik.  

Melalui restitusi, ketika murid berbuat salah, guru akan menanggapi dengan cara yang memungkinkan murid untuk membuat evaluasi internal tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka dan mendapatkan kembali harga dirinya. Restitusi menguntungkan korban, tetapi juga menguntungkan orang yang telah berbuat salah. Ini sesuai dengan prinsip dari teori kontrol William Glasser tentang solusi menang-menang.



 

 

No comments:

Post a Comment

DIMOHON UNTUK BERKOMENTAR DENGAN KATA KATA SOPAN DAN TIDAK MENGANDUNG UNSUR SARA

Selamat, Anda Pengunjung Ke....